Labubu Mania Memudar? Harga Anjlok, Pop Mart Justru Lega
Beranda » Index » Labubu Mania Memudar? Harga Anjlok, Pop Mart Justru Lega

Labubu Mania Memudar? Harga Anjlok, Pop Mart Justru Lega

JAKARTA, (URBVOX) – Fenomena boneka Labubu yang sempat mengguncang pasar mainan dunia kini menunjukkan tanda-tanda melemah.

Harga jual kembali yang pernah melonjak hingga 2.000% di atas harga eceran, menurut riset Nomura, kini anjlok drastis hingga setengahnya atau lebih.

Situasi ini memicu kepanikan di kalangan penjual, terutama para calo yang sebelumnya meraup untung besar dari pasar sekunder.

Namun, di tengah gejolak ini, Pop Mart yang merupakan perusahaan asal China di balik kepopuleran Labubu justru menyambut penurunan ini dengan optimisme.

Pasar Sekunder yang Memanas, lalu Mendingin

Pop Mart, raksasa mainan yang berbasis di Beijing, mengakui bahwa penurunan harga di pasar sekunder adalah bagian dari strategi mereka.

Jurusan Kuliah Ini Diprediksi Gajinya Tembus Miliaran di 2025, Catat!

Dalam pernyataan resmi kepada CNBC Internasional, perusahaan ini menegaskan, “Produk kami dibuat untuk orang-orang yang benar-benar terhubung dengan seni dan kegembiraan yang dihadirkannya dan kami senang melihat semangat itu. Membuat seni ini mudah diakses adalah kunci bagi kami.”

Mereka juga menambahkan, “Jika pembelian semata-mata untuk ‘mencari keuntungan’, model ini pada akhirnya akan runtuh.”

Pernyataan ini mencerminkan keinginan Pop Mart untuk mengembalikan esensi Labubu sebagai karya seni yang terjangkau, bukan sekadar komoditas spekulasi.

Penurunan harga ini dipicu oleh langkah Pop Mart meningkatkan produksi hingga 30 juta mainan per bulan, sepuluh kali lipat dari produksi tahun sebelumnya.

Langkah ini diambil untuk menjawab keluhan tentang ulah calo yang menimbun stok dan menjualnya dengan harga selangit.

Namun, para analis menilai bahwa melemahnya permintaan, terutama di China daratan dan untuk edisi lama, juga turut berkontribusi pada penurunan harga.

Hao Hong, kepala investasi Lotus Asset Management, menilai para calo melepas stok karena mereka takut jika menimbun terlalu banyak, mereka tidak bisa menjual.

Sementara itu, Jeff Zhang dari Morningstar menegaskan bahwa pasar sekunder berfungsi sebagai cerminan popularitas produk Pop Mart.

“Ketika permintaan melebihi pasokan, platform penjualan kembali menjadi tolok ukur utama ke mana minat akan bergerak,” ujarnya.

Meski harga jual kembali Labubu merosot, saham Pop Mart tetap menunjukkan performa impresif, naik lebih dari 200% secara year-to-date, meskipun turun 16% dalam sebulan terakhir, menurut data LSEG.

Pop Mart sendiri tidak mendapatkan keuntungan langsung dari pasar sekunder, pendapatan mereka berasal dari penjualan langsung.

Namun, sensasi kelangkaan yang diciptakan pasar sekunder telah membantu memperkuat daya tarik merek ini.

Ashley Dudarenok, pendiri perusahaan riset China ChoZan, menjelaskan bahwa Pop Mart sengaja membiarkan harga pasar sekunder melonjak untuk memanaskan popularitas Labubu. Namun, kini mereka beralih ke model yang lebih berkelanjutan.

“Pasar barang bekas Labubu secara signifikan meningkatkan popularitas mainan tersebut. Di saat yang sama, hal itu tidak terlalu sehat dalam jangka panjang, karena mengasingkan pelanggan sejati Anda, pelanggan jangka panjang. Dan Pop Mart tidak ingin menjadi keajaiban sesaat,” katanya.

Pop Mart kini fokus membawa Labubu kembali ke “dunia nyata” sebagai mainan yang diproduksi massal, bukan barang mewah.

Untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang, perusahaan ini gencar berekspansi ke pasar internasional, seperti Amerika Utara dan Asia-Pasifik. Kolaborasi dengan merek global seperti Uniqlo, Disney, dan Coca-Cola, serta investasi dalam taman hiburan dan animasi orisinal, menjadi bagian dari strategi mereka untuk memperkuat identitas karakter Labubu.

Tantangan dan Peluang di Masa Depan

Di tengah euforia yang kian mereda, ujian terbesar Pop Mart bukan sekadar menjaga popularitas Labubu, melainkan memastikan karakter ini bisa kembali bersinar di masa depan.

Dudarenok menyebut tim Pop Mart sebagai “antropolog masa kini” yang cermat mengamati kebutuhan konsumen untuk menciptakan karakter yang relevan.

“Pop Mart secara konsisten menggali, mengamati, dan mengkurasi. Dan lagi, Labubu juga membutuhkan waktu beberapa tahun. Bukan berarti ia diciptakan lalu tiga bulan kemudian menjadi sensasi internasional,” ungkapnya.

“Iya yakin mereka akan tetap mengejutkan kita dengan sesuatu yang keren di tahun-tahun mendatang,” tambahnya.

Namun, Pop Mart juga menghadapi tantangan. Strategi blind box yang menjadi pemicu utama kepopuleran Labubu dengan sensasi “dopamin” yang ditawarkannya menuai kritik dari media pemerintah China karena efek adiktifnya, terutama pada anak-anak.

Untuk itu, Pop Mart mulai melangkah melampaui model blind box, mencari cara baru untuk mempertahankan daya tarik tanpa mengorbankan nilai-nilai inti mereka.

Entertainment

    Loading...

Tech

    Loading...